SEBAGAI negara kepulauan terbesar di dunia sudah
seharusnya Indonesia menjadi bangsa yang makmur dan disegani. Namun,
kenyataannya dengan potensi sumber daya alam yang berlimpah, negara ini
seakan tak berdaya. Apalagi di bidang industri maritim, roda
perekonomian Indonesia lumpuh terpenjara oleh kepentingan asing.
Luas laut Indonesia yang mencapai 5,8 juta km
2, terdiri dari 0,3 juta km
2 perairan teritorial, 2,8 juta km
2 perairan pedalaman dan kepulauan, 2,7 juta km
2
Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE), serta dikelilingi lebih dari 17.500 pulau,
menyimpan kekayaan yang luar biasa. Jika dikelola dengan baik, potensi
kelautan Indonesia diperkirakan dapat memberikan penghasilan lebih dari
100 miliar dolar AS per tahun. Namun yang dikembangkan kurang dari 10
persen.
Melihat besarnya potensi laut nusantara, sudah seharusnya Indonesia
mempunyai infrastruktur maritim kuat, seperti, pelabuhan yang lengkap
dan modern; sumber daya manusia (SDM) di bidang maritim berkualitas;
serta kapal berkelas, mulai untuk jasa pengangkutan manusia, barang,
migas, kapal penangkap ikan sampai dengan armada TNI Angkatan Laut (AL).
Namun, kondisi ideal tersebut sulit tercapai. Hal ini terjadi karena
industri martim Indonesia tidak dikelola dengan benar. Sehingga tak satu
pun negara yang segan dan menghormati Indonesia sebagai bangsa maritim.
Negara asing menempatkan bangsa Indonesia sebagai pasar produk mereka.
Ironisnya, pemerintah hanya berdiam diri tanpa melakukan langkah
perbaikan.
Padahal, ke depan industri kelautan Indonesia akan semakin strategis,
seiring dengan pergeseran pusat ekonomi dunia dari bagian Atlantik ke
Asia-Pasifik. Hal ini terlihat 70 persen perdagangan dunia berlangsung
di kawasan Asia-Pasifik. Secara detail 75 persen produk dan komoditas
yang diperdagangkan dikirim melalui laut Indonesia dengan nilai sekitar
1.300 triliun dolar AS per tahun.
Potensi ini dimanfaatkan Singapura, dengan membangun pelabuhan pusat pemindahan (
transhipment) kapal-kapal perdagangan dunia. Negara yang luasnya hanya 692.7 km
2,
dengan penduduk 4,16 juta jiwa itu telah menjadi pusat jasa
transportasi laut terbesar di dunia. Bahkan ekspor barang dan komoditas
Indonesia 70 persen melalui Singapura.
Selama ini sudah menjadi rahasia umum bila industri dan jasa maritim
Indonesia berada di bawah kendali Singapura. Lihat saja sebagian kapal
yang berlayar menghubungkan antar pulau sebagian besar menggunakan
bendera negeri
The Red Dot, khususnya kapal yang memuat barang-barang terkait dengan berbagai macam industri.
Sebagai contoh industri perkapalan yang bertebaran di beberapa tempat
di Kepulauan Riau, khususnya di pulau Batam dan beberapa pulau
sekitarnya, termasuk pulau Karimun. Di sana ada investasi bidang
perkapalan dan mayoritas pelakunya berasal dari negeri yang sangat takut
terhadap KKO/Marinir Indonesia.
Pertanyaannya, mengapa hal demikian bisa terjadi? Tidak sulit untuk
menjawabnya, yaitu bisa jadi karena ada pembiaran dari pembuat kebijakan
di bidang investasi. Bisa pula karena para pembuat kebijakan di negeri
ini tidak paham strategisnya dunia maritim bagi Indonesia.
Tersiar kabar pula, ada agen-agen dari Singapura di beberapa tempat
strategis yang siap memotong bila ada kebijakan maritim yang
menguntungkan Indonesia atau sebaliknya merugikan negeri tersebut.
Keadaan semakin rumit karena sebagian industri perkapalan di dalam negeri masih harus berurusan lewat Singapura.
Mengenai pembangunan kapal misalnya, seperti propeler, sistem
pendorong, radar dan lain sebagainya, pabrikan subsistem tersebut
terkadang tidak mau galangan Indonesia berhubungan langsung dengan
kantor pusat mereka di Eropa atau Amerika. Tapi, harus lewat perwakilan
regional mereka yang berada di negeri pencuri pasir itu. Pertanyaan
besar muncul, kapan bangsa Indonesia sadar akan hal ini dan bertindak
memutus rantai pengendalian negeri kecil tersebut.
Penghambat Industri Maritim
Di sisi lain, banyak faktor yang menghambat
pembangunan industri maritim nasional. Pertama, sistem finansial.
Kebijakan sektor perbankan atau lembaga keuangan di Indonesia, yang
sebagian besar keuntungannya diperoleh dari penempatan dana di
Sertifikat Bank Indonesia (SBI), untuk pembiayaan industri maritim
sangat tidak mendukung. Ini karena bunga pinjaman sangat tinggi.
Berkisar antara 11-12 persen per tahun dengan 100 persen kolateral
(senilai pinjaman).
Bandingkan dengan sistem perbankan Singapura yang hanya mengenakan
bunga 2 persen+LIBOR 2 persen (total sekitar 4 persen) per tahun.
Equity-nya
hanya 25 persen sudah bisa mendapatkan pinjaman tanpa kolateral
terpisah. Sebagai contoh bagi pengusaha kapal, Kapal yang dibelinya bisa
menjadi jaminan. Tidak heran jika pengusaha nasional kesulitan mencari
pembiayaan untuk membeli kapal, baik baru maupun bekas melalui sistem
perbankan Indonesia.
Kedua, sesuai dengan Kepmenkeu No 370/KMK.03/2003 tentang Pelaksanaan
Pajak Pertambahan Nilai yang Dibebaskan Atas Impor dan/atau Penyerahan
Barang Kena Pajak Tertentu dan/atau Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu,
bahwa sektor perkapalan mendapat pembebasan pajak. Namun semua
pembebasan pajak itu kembali harus dibayar jika melanggar pasal 16,
tentang Pajak Pertambahan Nilai yang terutang pada impor atau pada saat
perolehan Barang Kena Pajak Tertentu disetor kas negara apabila dalam
jangka waktu 5 (lima) tahun sejak impor digunakan tidak sesuai dengan
tujuan semula atau dipindahtangankan.
Artinya kebijakan tersebut banci. Jika pengusaha menjual kapalnya
sebelum 5 tahun harus membayar pajak kepada negara sebesar 22,5 persen
dari harga penjualan (PPn 10 persen, PPh impor 7,5 persen dan bea masuk 5
persen). Padahal, di Indonesia jarang ada kontrak penggunaan kapal
lebih dari 5 tahun, paling banyak 2 tahun. Supaya pengusaha kapal tidak
menanggung rugi berkepanjangan mereka harus menjual kapalnya. Namun,
pengusaha harus membayar pajak terutang kepada negara sesuai Pasal 16
tersebut. Jika demikian, industri maritim negara ini terhambat oleh
kebijakan fiskal yang dianut.
Sebaliknya, di Singapura pemerintah akan memberikan insentif,
seperti pembebasan bea masuk pembelian kapal, pembebasan pajak bagi
perusahaan pelayaran yang bertransaksi di atas 20 juta dolar AS. Mereka
sadar bahwa investasi di industri pelayaran bersifat
slow yielding sehingga diperlukan insentif. Kalaupun kapal harus dijual, pemerintah Singapura juga membebaskan pajaknya.
Pemerintahan di negara maju telah berpikir meski penerimaan pajak
menurun, tetapi penerimaan dari sektor lain akan bertambah. Misalnya,
semakin banyak tenaga kerja asing tinggal dan bekerja pada akhirnya akan
banyak uang yang dibelanjakan di negara tersebut. Selain itu, transaksi
perbankan biasanya akan semakin banyak, sehingga pendapatan negara akan
meningkat. Ini adalah pola pikir dan langkah pemerintahan yang dikelola
oleh negarawan cerdas.
Ketiga, buruknya kualitas sumber daya maritim Indonesia menyebabkan
biaya langsung industri maritim menjadi tinggi. Meskipun gaji tenaga
Indonesia 1/3 gaji dari tenaga kerja asing, tetapi karena rendahnya
disiplin dan tanggung jawab, menyebabkan biaya yang harus ditanggung
pemilik kapal berbendera dan berawak 100 persen orang Indonesia (sesuai
dengan UU No 17 tahun 2008 tentang Pelayaran) sangat tinggi. Sebaliknya,
jika kapal berawak 100 persen asing yang mahal, ternyata pendapatan
perusahaan pelayaran bisa meningkat dua kali lipat.
Keempat, persoalan klasifikasi industri maritim di tangan Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) dengan kendali Kementerian BUMN dan Kementerian
Perhubungan, sistem klasifikasi Indonesia, membuat industri maritim
Indonesia semakin terpuruk. Semua kapal yang diklasifikasi atau
disertifikasi, diduga tidak diakui asuransi perkapalan kelas dunia.
Kalaupun diakui, pemilik kapal harus membayar premi asuransi sangat
mahal.
Disinyalir, kondisi ini terjadi karena dalam melakukan klasifikasi
kapal, masih kurang profesional. Penilaiannya diragukan semua pihak.
Patut diduga klasifikasi kapal masih sarat dengan praktek-praktek yang
tidak selayaknya. Sebab itu sebagian pemilik kapal memilih tidak
meregister kapalnya di Indonesia, tetapi di Hongkong, Malaysia atau
Singapura. Akibatnya pelaksanaan UU No 17 tahun 2008 hanya retorika.
Karena mereka menganggap klasifikasi yang dikeluarkan PT BKI sebuah
‘pepesan kosong’ yang diragukan industri maritim global.
Jika industri maritim Indonesia mau berkembang dan siap bersaing
dengan industri sejenis, maka pemerintah khususnya Kementerian
Perhubungan, Kementerian Perindustrian, Kementerian BUMN dan Kementerian
Keuangan harus membuka mata dan jangan mau dipengaruhi para pelobi yang
mewakili pihak-pihak pencari keuntungan, tanpa memikirkan nasib bangsa.
Langkah pertama, melakukan revitalisasi atau deregulasi di sektor
fiskal sehingga Indonesia bisa kompetitif. Kecuali bangsa ini mau jadi
pecundang terus.
Selanjutnya lakukan perombakan total di lingkungan lembaga pemberi
klasifikasi sehingga dunia pelayaran internasional dan asuransi kerugian
mengakui keberadaannya. Kemudian, susun ulang kurikulum lembaga
pendidikan maritim oleh Kemendiknas supaya Indonesia mempunyai SDM
maritim yang berkualitas dan bertanggung jawab. Jika tidak industri
maritim Indonesia hanya tinggal nama.
Industri Perkapalan
Indonesia dengan perairan yang luas, membutuhkan
sarana transportasi kapal yang mampu menjangkau pulau-pulau yang
jumlahnya mencapai lebih dari 17.500 buah. Tak heran jika kebutuhan
industri perkapalan setiap tahun terus meningkat.
Sebagai negara kepulauan, sudah seharusnya Indonesia mengembangkan
industri perkapalan nasional. Kebijakan ini didukung dengan adanya
Inpres No 5/2005 yang intinya bahwa seluruh angkutan laut dalam negeri
harus diangkut kapal berbendera Indonesia. Tetapi, permintaan tersebut
tidak diimbangi dengan kemampuan memproduksi kapal.
Industri perkapalan merupakan industri padat karya dan padat modal
yang memiliki daya saing tinggi. Karena itu, dukungan pemerintah sebagai
pemegang kewenangan sangat penting. Faktor kebijakan moneter dan
fiskal, masih sulitnya akses dana perbankan dan tingginya bunga menjadi
beban para pelaku usaha. Industri kapal juga diharuskan membayar pajak
dua kali lipat. Masalah lain adalah minimnya keterlibatan perbankan.
Perbankan enggan menyalurkan kredit kepada industri perkapalan. Mereka
beranggapan, industri perkapalan penuh risiko karena kontrol terhadap
industri ini sulit.
Selain itu, masalah lahan yang digunakan industri perkapalan terutama
galangan kapal besar berada di daerah kerja pelabuhan dan hak
pengelolaan lahan (HPL)-nya dikuasai PT Pelindo. Sehingga Industri
perkapalan masih sangat tergantung pada HPL. Padahal, jika ada
keleluasaan lahan di pelabuhan bukan tidak mungkin industri kapal lebih
berkembang.
Industri Perikanan
Dari industri pengolahan ikan, kurangnya bahan baku
menjadi penyebab tidak berkembangnya industri ini. Utilitas pabrik yang
rata-rata hanya 45 persen. Menjadi masalah karena banyak hasil
tangkapan ikan yang langsung di ekspor ke luar negeri, terutama ke
Thailand dan Jepang.
Pemerintah sebenarnya telah menerbitkan Peraturan Menteri (Permen)
Kelautan dan Perikanan No 5 Tahun 2008 yang melarang ekspor langsung
hasil tangkapan perikanan. Peraturan ini, secara otomatis mewajibkan
perusahaan asing untuk bermitra dengan perusahaan lokal dalam membangun
industri pengolahan di Indonesia. Namun yang menjadi persoalan
implementasi Permen tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Sumber permasalahan lainnya adalah penangkapan ikan ilegal (
illegal fishing dan
illegal license),
oleh mafia perikanan yang nilainya ditaksir mencapai Rp 218 triliun per
tahun. Hal ini bisa diatasi bila Indonesia memiliki kapal-kapal
tangkapan ikan dengan skala menengah ke atas. Saat ini jumlah kapal
ukuran tersebut hanya 3 persen dari kebutuhan. Selain itu, tingginya
impor garam membuat industri garam nasional terpuruk. Juga impor tepung
ikan untuk bahan baku pakan ternak juga sangat tinggi sehingga industri
pengolahannya tidak bisa berkembang di dalam negeri.
Pemerintah harus segera membangun dan memperbaiki infrastruktur
perikanan dan kelautan yang masih lemah ini. Tanpa upaya itu, sektor
perikanan Indonesia akan tertinggal jauh dari negara lain. Sebagai
contoh, pembangunan infrastruktur di Lampung yang merupakan lumbung
udang terbesar harus menjadi perhatian serius pemerintah.
Industri Pertahanan
Berbicara mengenai konsep negara maritim tidak
lepas dari industri pertahanan. Sebagai negara yang disatukan lautan,
Indonesia tidak hanya harus bisa menjaga kedaulatan, tetapi juga
melindungi seluruh kekayaan alam yang dimilikinya.
Connie Rahakundini Bakrie, Analis Pertahanan Maritim melihat banyak
sumber daya alam yang dimiliki Indonesia bisa dimanfaatkan untuk
kepentingan industri maritim. Salah satunya adalah baja. Menurutnya baja
adalah
basic dari industri pertahanan suatu negara. Seperti
yang dilakukan negara Taiwan. Mereka membangun industri baja, di
sebelahnya dibangun pabrik kapal. Ini strategis karena kapal-kapal besar
yang mereka bangun sewaktu-waktu bisa menjadi kapal perang.
“Dalam tiga menit, saya lihat satu lempengan baja sudah jadi. Taiwan
tercatat sebagai pembuat baja tercepat di dunia. Mereka bisa dengan
mudah mendistribusikan baja ke pabrik pembuatan kapal yang ada di
sebelahnya. Mereka mengekspor kapal-kapal besar ke luar negeri dengan
proses pembuatan hanya butuh waktu 10 minggu.,” katanya.
Karena itu, Connie menilai industri baja sebagai
national security,
dasar dari pembangunan industri militer. Baja menjadi bahan dasar
kapal-kapal perang, termasuk kapal induk milik Amerika. Salah jika
bangsa Indonesia menjualnya begitu saja. Sebaiknya potensi logam ini
diolah dengan baik, untuk mendukung industri maritim nasional.
“Selama tidak paham pentingnya pertahanan, kita tidak akan pernah
sampai semua itu. Kita perlu tentara, guna memprotek kedaulatan, tentara
perlu alutista, khususnya udara dan laut. Alutista harus kita produksi
dengan membangun industri baja sebagai dasar dari pembangunan pertahanan
kita,” terangnya.
Namun, pihak asing tidak menginginkan Indonesia besar dengan
menguasai bahan logam berharga ini. Sebagai bukti banyak industri
pertambangan dalam negeri dikuasi pihak asing. Mereka memiliki
kepentingan dengan sumber-sumber daya alam dan energi di tanah air.
Mereka berusaha dengan berbagai cara menguasai bangsa ini.